Rabu, 12 Januari 2011

Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika (KTT Asia-Afrika; kadang juga disebut Konperensi Bandung) adalah sebuah konferensi tingkat tinggi antara negara-negara Asia dan Afrika, yang kebanyakan baru saja memperoleh kemerdekaan.
KTT ini diselenggarakan oleh Indonesia, Myanmar (dahulu Burma), Sri Lanka (dahulu Ceylon), India dan Pakistan dan dikoordinasi oleh Menteri Luar Negeri Indonesia Roeslan Abdulgani. Pertemuan ini berlangsung antara 18 April-24 April 1955, di Gedung Merdeka, Bandung, Indonesia dengan tujuan mempromosikan kerjasama ekonomi dan kebudayaan Asia-Afrika dan melawan kolonialisme atau neokolonialisme Amerika Serikat, Uni Soviet, atau negara imperialis lainnya.

Sebanyak 29 negara yang mewakili lebih dari setengah total penduduk dunia pada saat itu mengirimkan wakilnya. Konferensi ini merefleksikan apa yang mereka pandang sebagai ketidakinginan kekuatan-kekuatan Barat untuk mengkonsultasikan dengan mereka tentang keputusan-keputusan yang mempengaruhi Asia pada masa Perang Dingin; kekhawatiran mereka mengenai ketegangan antara Republik Rakyat Cina dan Amerika Serikat; keinginan mereka untuk membentangkan fondasi bagi hubungan yang damai antara Tiongkok dengan mereka dan pihak Barat; penentangan mereka terhadap kolonialisme, khususnya pengaruh Perancis di Afrika Utara dan kekuasaan kolonial perancis di Aljazair; dan keinginan Indonesia untuk mempromosikan hak mereka dalam pertentangan dengan Belanda mengenai Irian Barat.

Awal berdirinya Museum Konferensi Asia Afrika karena gagasan Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LL.M. Gagasan ini diilhami dari keinginan para pemimpin negara dan bangsa Asia Afrika untuk meng-abadikan Konferensi Asia Afrika (KAA), kemudian gagasan pendirian Museum Konferensi Asia Afrika ini diwujudkan oleh Joop Ave selaku Ketua Harian Panitia Peringatan Konferensi Asia Afrika ke-25 dan Direktur Jenderal Protokol dan Konsuler Departemen Luar Negeri, bekerjasama dengan Departemen Penerangan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat dan Universitas Pajajaran Bandung. Akhirnya pada tanggal 24 April 1980 museum ini diresmikan oleh Presiden RI Soeharto bertepatan dengan puncak acara Konferensi Asia Afrika yang ke-25.

Konferensi Asia Afrika yang di hadiri oleh utusan dari 29 negara dari Asia dan Afrika pada tahun 1955, berlangsung dari tanggal 18 – 24 April di Kota Bandung. Tujuan dari konferensi ini adalah untuk menunjukkan sebuah pernyataan sikap dari negara Asia dan Afrika bahwa perlu adanya jalinan kerjasama yang erat antar negara Asia dan Afrika agar tercapainya perdamaian dunia yang kekal. Usaha kearah perdamaian dunia yang kekal ini perlu dilakukan agar tidak terjadi perang yang berkepanjangan, apalagi saat itu di tahun 1950 an sedang terjadi pertikaian antara dua blok besar, yaitu Blok Barat (Amerika dan sekutunya) dan Blok Timur (Uni Soviet dan sekutunya), sehingga perlu adanya pernyataan sikap dari negara Asia dan Afrika.

Sepuluh poin hasil pertemuan ini kemudian tertuang dalam apa yang disebut Dasasila Bandung, yang berisi tentang "pernyataan mengenai dukungan bagi kedamaian dan kerjasama dunia". Dasasila Bandung ini memasukkan prinsip-prinsip dalam Piagam PBB dan prinsip-prinsip Nehru.

Konferensi ini akhirnya membawa kepada terbentuknya Gerakan Non-Blok pada 1961.

Untuk memperingati lima puluh tahun sejak pertemuan bersejarah tersebut, para Kepala Negara negara-negara Asia dan Afrika telah diundang untuk mengikuti sebuah pertemuan baru di Bandung dan Jakarta antara 19-24 April 2005. Sebagian dari pertemuan itu dilaksanakan di Gedung Merdeka, lokasi pertemuan lama pada 50 tahun lalu. Sekjen PBB, Kofi Annan juga ikut hadir dalam pertemuan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar